ꦮꦶꦭꦪꦃꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦣꦫꦶꦒꦶꦪꦤ꧀ꦠꦶꦲꦶꦁꦒꦏꦶꦤꦶ

ꦱꦸꦩ꧀ꦧꦼꦂ꧇ꦕꦂꦠꦺꦣꦼꦭ꧀'ꦆꦭꦺꦣꦼꦗꦮ꦳꧇ꦥꦂꦠꦶꦪꦺꦎꦕ꧀ꦕꦶꦣꦺꦤ꧀ꦠꦭꦺ꧈ꦥꦂꦠꦶꦪꦺꦎꦫꦶꦪꦺꦤ꧀ꦠꦭꦺ꧉ꦪꦼꦄꦂ꧇꧇꧑꧗꧑꧙꧇꧉

ꦱꦸꦩ꧀ꦧꦼꦂ꧇ꦕꦂꦠꦺꦣꦼꦭ꧀'ꦆꦭꦺꦣꦼꦗꦮ꦳꧇ꦥꦂꦠꦶꦪꦺꦎꦕ꧀ꦕꦶꦣꦺꦤ꧀ꦠꦭꦺ꧈ꦥꦂꦠꦶꦪꦺꦎꦫꦶꦪꦺꦤ꧀ꦠꦭꦺ꧉ꦪꦼꦄꦂ꧇꧇꧑꧗꧑꧙꧇꧉

꧋ꦱꦁꦤꦠꦄꦭꦺꦴꦤ꧀ꦔꦤ꧀ꦝꦶꦏ
꧋ꦮꦿꦸꦲꦤꦶꦫꦩꦁꦏꦸꦧꦸꦩꦶ
꧋ꦪꦺꦤ꧀ꦥꦿꦥ꧀ꦠꦤꦺꦏꦏꦶꦗꦼꦤ꧀ꦝꦿꦭ꧀
꧋ꦩꦶꦤ꧀ꦠꦄꦁꦒꦣꦸꦃꦥꦱꦶꦱꦶꦂ
꧋ꦱꦸꦤ꧀ꦪꦪꦶꦮꦸꦱ꧀ꦩꦫꦺꦔꦶ
꧋ꦏꦸꦩ꧀ꦥꦺꦤꦶꦥꦩꦶꦠꦤꦶꦥꦸꦤ꧀
꧋ꦮꦶꦠ꧀ꦏꦥꦺꦁꦏꦺꦴꦏ꧀ꦮꦶꦕꦫ
꧋ꦚ꧀ꦗꦼꦁꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦩꦠꦸꦂꦄꦫꦶꦱ꧀
꧋ꦣꦸꦃꦥꦸꦏꦸꦭꦸꦤ꧀ꦝꦼꦤꦼꦠꦧꦺꦴꦠꦺꦤ꧀ꦏꦣꦺꦴꦱ


꧋ꦧꦻꦠ꧀ꦧꦻꦠ꧀ꦏꦭꦶꦩꦠ꧀ꦝꦶꦄꦠꦱ꧀ꦄꦣꦭꦃꦏꦼꦭꦸꦲꦤ꧀ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇ꦏꦼꦥꦣꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦩꦁꦏꦸꦧꦸꦩꦶ꧈ꦄꦣꦶꦏ꧀ꦚ꧈ꦪꦁꦣꦶꦩꦸꦮꦠ꧀ꦝꦭꦩ꧀ꦧꦧꦣ꧀ꦒꦶꦪꦤ꧀ꦠꦶꦏꦂꦪꦪꦱꦣꦶꦥꦸꦫ꧇꧑꧇꧉ꦣꦭꦩ꧀ꦝꦶꦪꦭꦺꦴꦒ꧀ꦠꦼꦂꦱꦼꦧꦸꦠ꧀ꦠꦼꦂꦒꦩ꧀ꦧꦂꦏꦼꦒꦼꦭꦶꦱꦲꦤ꧀ꦲꦠꦶꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧒꧇ꦱꦄꦠ꧀ꦝꦶꦠꦼꦏꦤ꧀ꦒꦸꦧꦼꦂꦤꦸꦂꦗꦼꦤ꧀ꦝꦼꦫꦭ꧀ꦮ꦳ꦺꦴꦤ꧀ꦆꦩ꧀ꦲꦺꦴꦥ꦳꧀ꦥ꦳꧀ꦄꦒꦂꦩꦼꦚꦼꦫꦃꦏꦤ꧀ꦮꦶꦭꦪꦃꦥꦼꦱꦶꦱꦶꦂꦩꦠꦫꦩ꧀ꦏꦼꦥꦣꦮ꦳ꦺꦴꦕ꧀꧈

꧋ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦭꦩꦏꦼꦩꦸꦣꦶꦪꦤ꧀‌ꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦩꦁꦏꦸꦧꦸꦩꦶꦩꦼꦔꦁꦏꦠ꧀ꦱꦼꦚ꧀ꦗꦠꦩꦼꦭꦮꦤ꧀ꦮ꦳ꦺꦴꦕ꧀꧈ꦥꦼꦥꦺꦫꦔꦤ꧀ꦠꦼꦂꦱꦼꦧꦸꦠ꧀ꦧꦼꦫꦸꦗꦸꦁꦥꦣꦥꦼꦂꦗꦚ꧀ꦗꦶꦪꦤ꧀ꦒꦶꦪꦤ꧀ꦠꦶꦪꦁꦣꦶꦏꦼꦤꦭ꧀ꦝꦼꦔꦤ꧀ꦥꦭꦶꦲꦤ꧀ꦤꦒꦫꦶ꧈ꦣꦶꦩꦤꦠꦤꦃꦩꦠꦫꦩ꧀ꦝꦶꦧꦒꦶꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦣꦸꦮ꧉ꦱꦼꦧꦼꦭꦃꦠꦶꦩꦸꦂꦏꦭꦶꦎꦥꦏ꧀ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦮꦶꦭꦪꦃꦏꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ꧈ꦣꦤ꧀ꦮꦶꦭꦪꦃꦧꦫꦠ꧀ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦏꦼꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ꧉ꦥꦼꦂꦗꦚ꧀ꦗꦶꦪꦤ꧀ꦆꦤꦶꦣꦶꦠꦤ꧀ꦝꦠꦔꦤꦶꦥꦣꦠꦁꦒꦭ꧀꧇꧑꧓꧇ꦥ꦳ꦺꦧꦿꦸꦮꦫꦶ꧇꧑꧗꧕꧕꧇ꦄꦤ꧀ꦠꦫꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦩꦁꦏꦸꦧꦸꦩꦶꦣꦼꦔꦤ꧀ꦤꦶꦕ꧀ꦲꦺꦴꦭꦱ꧀ꦲꦂꦠꦶꦁꦲ꧀ꦱꦼꦧꦒꦻꦮꦏꦶꦭ꧀ꦮ꦳ꦺꦴꦕ꧀꧈

꧋ꦏꦺꦴꦤ꧀ꦱꦺꦥ꧀ꦩꦤ꧀ꦝꦭꦣꦭꦩ꧀ꦮꦶꦭꦪꦃꦏꦼꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ

꧋ꦏꦼꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦩꦼꦮꦫꦶꦱꦶꦥꦺꦴꦭꦏꦼꦫꦗꦄꦤ꧀ꦏꦺꦴꦤ꧀ꦱꦺꦤ꧀ꦠꦿꦶꦱ꧀ꦝꦭꦩ꧀ꦩꦼꦔꦠꦸꦂꦠꦠꦫꦸꦮꦁꦮꦶꦭꦪꦃꦚ꧉ꦏꦺꦴꦤ꧀ꦱꦺꦥ꧀ꦠꦠꦫꦸꦮꦁꦆꦤꦶꦣꦶꦏꦼꦤꦭ꧀ꦝꦼꦔꦤ꧀ꦏꦺꦴꦤ꧀ꦱꦺꦥ꧀ꦩꦤ꧀ꦝꦭꦣꦤ꧀ꦱꦸꦣꦃꦣꦶꦥꦏꦻꦎꦭꦺꦃꦏꦼꦫꦗꦄꦤ꧀ꦏꦼꦫꦗꦄꦤ꧀ꦱꦼꦧꦼꦭꦸꦩ꧀ꦚꦱꦼꦥꦼꦂꦠꦶꦩꦠꦫꦩ꧀ꦆꦱ꧀ꦭꦩ꧀‌ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀‌ꦣꦤ꧀ꦩꦠꦫꦩ꧀ꦲꦶꦤ꧀ꦝꦸ꧉ꦣꦭꦩ꧀ꦏꦺꦴꦤ꧀ꦱꦺꦥ꧀ꦩꦤ꧀ꦝꦭ꧈ꦏꦼꦧꦼꦫꦣꦄꦤ꧀ꦫꦗꦄꦠꦻꦴꦏꦼꦫꦗꦄꦤ꧀ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦠꦶꦠꦶꦏ꧀ꦥꦸꦱꦠ꧀꧈

꧋ꦏꦼꦫꦸꦮꦔꦤ꧀ꦮꦶꦭꦪꦃꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦠꦼꦂꦧꦒꦶꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦄꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦧꦒꦶꦪꦤ꧀‌ꦪꦆꦠꦸ꧇

꧋ꦏꦿꦠꦺꦴꦤ꧀꧈ꦱꦼꦧꦒꦻꦥꦸꦱꦠ꧀ꦏꦼꦏꦸꦮꦱꦄꦤ꧀‌ꦏꦿꦠꦺꦴꦤ꧀ꦧꦼꦂꦠꦁꦒꦸꦁꦗꦮꦧ꧀ꦄꦠꦱ꧀ꦥꦫꦺꦤ꧀ꦠꦃꦚ꧀ꦗꦼꦫꦺꦴ(ꦥꦼꦩꦼꦫꦶꦤ꧀ꦠꦲꦤ꧀ꦝꦭꦩ꧀)꧉ꦱꦼꦕꦫꦥ꦳ꦸꦁꦱꦶꦗꦸꦒꦱꦼꦧꦒꦻꦥꦼꦫꦤ꧀ꦠꦫꦄꦤ꧀ꦠꦫꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦝꦼꦔꦤ꧀ꦥꦼꦩꦼꦫꦶꦤ꧀ꦠꦃꦭꦸꦮꦂ꧉ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦝꦤ꧀ꦏꦼꦭꦸꦮꦂꦒꦚꦠꦶꦁꦒꦭ꧀ꦝꦶꦮꦶꦭꦪꦃꦆꦤꦶ꧉
꧋ꦤꦒꦫꦄꦠꦻꦴꦏꦸꦛꦤꦺꦒꦫ(ꦆꦧꦸꦏꦺꦴꦠ)꧉ꦮꦶꦭꦪꦃꦆꦤꦶꦣꦶꦥꦼꦫꦸꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦏꦤ꧀ꦧꦒꦶꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦏꦼꦣꦸꦣꦸꦏꦤ꧀ꦥꦫꦺꦤ꧀ꦠꦃꦚ꧀ꦗꦧꦄꦠꦻꦴꦥꦼꦩꦼꦫꦶꦤ꧀ꦠꦲꦤ꧀ꦭꦸꦮꦂ꧉ꦫꦸꦮꦁꦆꦤꦶꦣꦶꦆꦱꦶꦎꦭꦺꦃꦥꦫꦥꦔꦺꦫꦤ꧀‌ꦥꦠꦶꦃꦣꦤ꧀ꦥꦫꦥꦼꦗꦧꦠ꧀ꦠꦶꦁꦒꦶꦭꦻꦤ꧀ꦚ꧉
꧋ꦤꦼꦒꦫꦒꦸꦁꦄꦣꦭꦃꦮꦶꦭꦪꦃꦆꦤ꧀ꦠꦶꦏꦼꦫꦗꦄꦤ꧀ꦪꦁꦠꦼꦂꦊꦠꦏ꧀ꦝꦶꦱꦼꦏꦼꦭꦶꦭꦶꦁꦏꦸꦛꦤꦺꦒꦫ꧉ꦮꦶꦭꦪꦃꦆꦤꦶꦱꦼꦧꦒꦶꦪꦤ꧀ꦧꦼꦱꦂꦄꦣꦭꦃꦠꦤꦃꦭꦸꦁꦒꦸꦃꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦥꦫꦥꦼꦗꦧꦠ꧀ꦏꦼꦫꦗꦄꦤ꧀ꦪꦁꦠꦶꦁꦒꦭ꧀ꦝꦶꦏꦸꦛꦤꦺꦒꦫ꧉
꧋ꦩꦚ꧀ꦕꦤꦼꦒꦫꦄꦣꦭꦃꦱꦼꦭꦸꦫꦸꦃꦮꦶꦭꦪꦃꦏꦼꦫꦗꦄꦤ꧀ꦪꦁꦧꦼꦫꦣꦣꦶꦭꦸꦮꦂꦮꦶꦭꦪꦃꦤꦼꦒꦫꦒꦸꦁ꧉ꦮꦶꦭꦪꦃꦆꦤꦶꦣꦶꦥꦼꦫꦶꦤ꧀ꦠꦃꦎꦭꦺꦃꦥꦫꦧꦸꦥꦠꦶꦪꦁꦣꦶꦠꦸꦚ꧀ꦗꦸꦏ꧀ꦎꦭꦺꦃꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦝꦤ꧀ꦧꦼꦂꦠꦁꦒꦸꦁꦗꦮꦧ꧀ꦏꦼꦥꦣꦥꦠꦶꦃ꧉
꧋ꦱꦼꦕꦫꦒꦫꦶꦱ꧀ꦧꦼꦱꦂꦮꦶꦭꦪꦃꦏꦼꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦠꦼꦂꦧꦒꦶꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦣꦸꦮ꧈ꦪꦆꦠꦸꦮꦶꦭꦪꦃꦤꦼꦒꦫꦒꦸꦁꦄꦠꦻꦴꦮꦶꦭꦪꦃꦆꦤ꧀ꦠꦶꦏꦼꦫꦗꦄꦤ꧀ꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦧꦼꦫꦣ꧈ꦣꦤ꧀ꦮꦶꦭꦪꦃꦩꦚ꧀ꦕꦤꦼꦒꦫꦄꦠꦻꦴꦥꦿꦺꦴꦮ꦳ꦶꦤ꧀ꦱꦶꦭꦸꦮꦂꦪꦁꦠꦶꦣꦏ꧀ꦧꦼꦂꦲꦸꦧꦸꦔꦤ꧀ꦭꦁꦱꦸꦁꦣꦼꦔꦤ꧀ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀꧈

Wilayah Yogyakarta dari Giyanti Hingga Kini

JGST

Sang Nata alon ngandika 
Wruhanira Mangkubumi 
Yen praptane kaki Jendral 
Minta anggadhuh pasisir 
Sun yayi wus marengi 

Kumpeni pamitanipun 
Wit kapengkok wicara 
Njeng Pangeran matur aris 
Dhuh Pukulun dene ta boten kadosa 
 

Bait-bait kalimat di atas adalah keluhan Paku Buwana II kepada Pangeran Mangkubumi, adiknya, yang dimuat dalam Babad Giyanti karya Yasadipura I. Dalam dialog tersebut tergambar kegelisahan hati Paku Buwana II saat ditekan Gubernur Jenderal Von Imhoff agar menyerahkan wilayah pesisir Mataram kepada VOC. 

Tidak lama kemudian, Pangeran Mangkubumi mengangkat senjata melawan VOC. Peperangan tersebut berujung pada Perjanjian Giyanti yang dikenal dengan Palihan Nagari, dimana tanah Mataram dibagi menjadi dua. Sebelah timur Kali Opak menjadi wilayah Kasunanan Surakarta, dan wilayah barat menjadi Kesultanan Yogyakarta. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 antara Pangeran Mangkubumi dengan Nicholas Hartingh sebagai wakil VOC. 

Konsep Mandala dalam Wilayah Kesultanan Yogyakarta

Kesultanan Yogyakarta mewarisi pola kerajaan konsentris dalam mengatur tata ruang wilayahnya. Konsep tata ruang ini dikenal dengan konsep mandala dan sudah dipakai oleh kerajaan-kerajaan sebelumnya seperti Mataram Islam, Majapahit, dan Mataram Hindu. Dalam konsep mandala, keberadaan raja atau kerajaan menjadi titik pusat.

Keruangan wilayah Yogyakarta terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

Kraton. Sebagai pusat kekuasaan, kraton bertanggung jawab atas parentah njero (pemerintahan dalam). Secara fungsi juga sebagai perantara antara Sultan dengan pemerintah luar. Sultan dan keluarganya tinggal di wilayah ini.
Nagara atau kuthanegara (ibu kota). Wilayah ini diperuntukkan bagi tempat kedudukan parentah njaba atau pemerintahan luar. Ruang ini diisi oleh para pangeran, patih dan para pejabat tinggi lainnya.
Negaragung adalah wilayah inti kerajaan yang terletak di sekeliling kuthanegara. Wilayah ini sebagian besar adalah tanah lungguh untuk para pejabat kerajaan yang tinggal di kuthanegara.
Mancanegara adalah seluruh wilayah kerajaan yang berada di luar wilayah negaragung. Wilayah ini diperintah oleh para bupati yang ditunjuk oleh Sultan dan bertanggungjawab kepada patih.
Secara garis besar wilayah kesultanan terbagi menjadi dua, yaitu wilayah negaragung atau wilayah inti kerajaan tempat keraton berada, dan wilayah mancanegara atau provinsi luar yang tidak berhubungan langsung dengan Sultan.

Wilayah Yogyakarta dari Giyanti Hingga Kini

JGST

Sang Nata alon ngandika 
Wruhanira Mangkubumi 
Yen praptane kaki Jendral 
Minta anggadhuh pasisir 
Sun yayi wus marengi 

Kumpeni pamitanipun 
Wit kapengkok wicara 
Njeng Pangeran matur aris 
Dhuh Pukulun dene ta boten kadosa 
 

Bait-bait kalimat di atas adalah keluhan Paku Buwana II kepada Pangeran Mangkubumi, adiknya, yang dimuat dalam Babad Giyanti karya Yasadipura I. Dalam dialog tersebut tergambar kegelisahan hati Paku Buwana II saat ditekan Gubernur Jenderal Von Imhoff agar menyerahkan wilayah pesisir Mataram kepada VOC. 

Tidak lama kemudian, Pangeran Mangkubumi mengangkat senjata melawan VOC. Peperangan tersebut berujung pada Perjanjian Giyanti yang dikenal dengan Palihan Nagari, dimana tanah Mataram dibagi menjadi dua. Sebelah timur Kali Opak menjadi wilayah Kasunanan Surakarta, dan wilayah barat menjadi Kesultanan Yogyakarta. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 antara Pangeran Mangkubumi dengan Nicholas Hartingh sebagai wakil VOC. 

Konsep Mandala dalam Wilayah Kesultanan Yogyakarta

Kesultanan Yogyakarta mewarisi pola kerajaan konsentris dalam mengatur tata ruang wilayahnya. Konsep tata ruang ini dikenal dengan konsep mandala dan sudah dipakai oleh kerajaan-kerajaan sebelumnya seperti Mataram Islam, Majapahit, dan Mataram Hindu. Dalam konsep mandala, keberadaan raja atau kerajaan menjadi titik pusat.

Keruangan wilayah Yogyakarta terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

Kraton. Sebagai pusat kekuasaan, kraton bertanggung jawab atas parentah njero (pemerintahan dalam). Secara fungsi juga sebagai perantara antara Sultan dengan pemerintah luar. Sultan dan keluarganya tinggal di wilayah ini.
Nagara atau kuthanegara (ibu kota). Wilayah ini diperuntukkan bagi tempat kedudukan parentah njaba atau pemerintahan luar. Ruang ini diisi oleh para pangeran, patih dan para pejabat tinggi lainnya.
Negaragung adalah wilayah inti kerajaan yang terletak di sekeliling kuthanegara. Wilayah ini sebagian besar adalah tanah lungguh untuk para pejabat kerajaan yang tinggal di kuthanegara.
Mancanegara adalah seluruh wilayah kerajaan yang berada di luar wilayah negaragung. Wilayah ini diperintah oleh para bupati yang ditunjuk oleh Sultan dan bertanggungjawab kepada patih.
Secara garis besar wilayah kesultanan terbagi menjadi dua, yaitu wilayah negaragung atau wilayah inti kerajaan tempat keraton berada, dan wilayah mancanegara atau provinsi luar yang tidak berhubungan langsung dengan Sultan.