ꦠꦸꦒꦱ꧀ꦝꦤ꧀ꦥ꦳ꦸꦁꦱꦶꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀

ꦠꦸꦒꦱ꧀ꦝꦤ꧀ꦥ꦳ꦸꦁꦱꦶꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀

ꦠꦸꦒꦱ꧀ꦝꦤ꧀ꦥ꦳ꦸꦁꦱꦶꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀

꧋ꦱꦼꦠꦼꦭꦃꦣꦶꦥꦿꦺꦴꦏ꧀ꦭꦩꦱꦶꦏꦤ꧀ꦥꦣꦠꦁꦒꦭ꧀꧇꧑꧓꧇ꦩꦉꦠ꧀꧇꧑꧗꧕꧕꧇(꧇꧒꧙꧇ꦗꦸꦩꦣꦶꦭꦮꦭ꧀꧇꧑꧖꧘꧐꧇ꦠ꧀ꦗ꧀)꧈ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦲꦣꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀ꦩꦼꦩ꧀ꦧꦸꦠꦸꦃꦏꦤ꧀ꦄꦥꦫꦠꦸꦂꦤꦼꦒꦫꦪꦁꦧꦼꦫꦱꦭ꧀ꦧꦻꦏ꧀ꦝꦫꦶꦒꦺꦴꦭꦺꦴꦔꦤ꧀ꦱꦶꦥꦶꦭ꧀ꦩꦻꦴꦥꦸꦤ꧀ꦩꦶꦭꦶꦠꦺꦂ꧉ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦩꦼꦫꦸꦥꦏꦤ꧀ꦄꦥꦫꦠꦸꦂꦱꦶꦥꦶꦭ꧀‌ꦱꦼꦣꦁꦏꦤ꧀ꦄꦥꦫꦠꦸꦂꦩꦶꦭꦶꦠꦺꦂꦚꦄꦣꦭꦃꦥꦿꦗꦸꦫꦶꦠ꧀ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀꧈ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦧꦼꦂꦠꦸꦒꦱ꧀ꦱꦼꦧꦒꦻꦥꦼꦭꦏ꧀ꦱꦤꦎꦥꦼꦫꦱꦶꦪꦺꦴꦤꦭ꧀ꦝꦶꦱꦼꦠꦶꦪꦥ꧀ꦎꦂꦒꦤꦶꦱꦱꦶꦪꦁꦣꦶꦧꦼꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦎꦭꦺꦃꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀꧈ꦠꦤ꧀ꦥꦄꦣꦚꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀‌ꦫꦺꦴꦣꦥꦼꦩꦼꦫꦶꦤ꧀ꦠꦲꦤ꧀ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦄꦏꦤ꧀ꦧꦼꦂꦗꦭꦤ꧀꧈

꧋ꦱꦼꦭꦻꦤ꧀ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦭꦤ꧀ꦏꦤ꧀ꦠꦸꦒꦱ꧀ꦎꦥꦼꦫꦱꦶꦪꦺꦴꦤꦭ꧀ꦥꦣꦱꦼꦠꦶꦪꦥ꧀ꦎꦂꦒꦤꦶꦱꦱꦶꦣꦶꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀‌ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦗꦸꦒꦩꦼꦫꦸꦥꦏꦤ꧀‘ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦧꦸꦣꦪ’꧉ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦧꦸꦣꦪꦄꦣꦭꦃꦎꦫꦁꦪꦁꦧꦶꦱꦣꦤ꧀ꦩꦩ꧀ꦥꦸꦩꦼꦩ꧀ꦧꦼꦫꦶꦱꦸꦫꦶꦠꦻꦴꦭꦣꦤ꧀ꦧꦒꦶꦩꦱꦾꦫꦏꦠ꧀ꦭꦸꦮꦱ꧀꧈ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦲꦫꦸꦱ꧀ꦧꦶꦱꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦕꦺꦴꦤ꧀ꦠꦺꦴꦃꦏꦼꦲꦶꦣꦸꦥꦤ꧀ꦝꦶꦩꦱꦾꦫꦏꦠ꧀‌ꦧꦼꦂꦠꦶꦤ꧀ꦝꦏ꧀ꦧꦼꦂꦣꦱꦂꦏꦤ꧀ꦈꦁꦒꦃꦈꦁꦒꦸꦃꦣꦤ꧀ꦥꦲꦩ꧀ꦄꦏꦤ꧀ꦠꦠꦏꦿꦩ꧉ꦎꦭꦺꦃꦏꦉꦤꦆꦠꦸ꧈ꦱꦼꦚꦸꦩ꧀ꦪꦁꦱꦼꦭꦭꦸꦩꦺꦫꦺꦏꦃ꧈ꦫꦩꦃꦣꦤ꧀ꦱꦺꦴꦥꦤ꧀ꦱꦤ꧀ꦠꦸꦤ꧀ꦪꦁꦠꦶꦁꦒꦶꦩꦼꦫꦸꦥꦏꦤ꧀ꦲꦭ꧀ꦪꦁꦱꦼꦭꦭꦸꦣꦶꦠꦸꦚ꧀ꦗꦸꦏꦤ꧀ꦎꦭꦺꦃꦥꦫꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ꧉

꧋ꦕꦶꦫꦶꦏ꦳ꦱ꧀ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦠꦼꦂꦊꦠꦏ꧀ꦥꦣꦥꦏꦻꦪꦤ꧀꧈ꦥꦏꦻꦪꦤ꧀ꦄꦠꦻꦴꦧꦸꦱꦤꦏ꦳ꦱ꧀ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦝꦶꦱꦼꦧꦸꦠ꧀ꦥꦼꦫꦤꦏꦤ꧀꧈ꦥꦼꦫꦤꦏꦤ꧀ꦧꦼꦫꦱꦭ꧀ꦝꦫꦶꦏꦠ‘ꦣꦶꦥꦼꦂꦄꦤꦏ꧀ꦏꦤ꧀’꧉ꦄꦂꦠꦶꦚꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦄꦏꦤ꧀ꦝꦶꦄꦁꦒꦥ꧀ꦱꦼꦎꦭꦃꦎꦭꦃꦱꦠꦸꦱꦻꦴꦣꦫꦪꦁꦣꦶꦭꦲꦶꦂꦏꦤ꧀ꦝꦫꦶꦱꦼꦎꦫꦁꦆꦧꦸ꧉ꦱꦼꦩꦸꦮꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦥꦏꦻꦪꦤ꧀ꦚꦱꦩꦣꦤ꧀ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦭꦤ꧀ꦏꦤ꧀ꦠꦸꦒꦱ꧀ꦠꦤ꧀ꦥꦩꦼꦔꦼꦤꦏꦤ꧀ꦄꦭꦱ꧀ꦏꦏꦶ꧉ꦱꦼꦭꦻꦤ꧀ꦆꦠꦸ꧈ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦮꦤꦶꦠꦠꦶꦣꦏ꧀ꦧꦺꦴꦭꦺꦃꦩꦼꦩꦏꦻꦥꦼꦂꦲꦶꦪꦱꦤ꧀꧈ꦱꦼꦩꦸꦮꦆꦤꦶꦧꦼꦂꦠꦸꦗꦸꦮꦤ꧀ꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦼꦤꦶꦪꦣꦏꦤ꧀ꦥꦼꦂꦧꦺꦣꦄꦤ꧀ꦄꦤ꧀ꦠꦫꦱꦶꦩꦶꦱ꧀ꦏꦶꦤ꧀ꦝꦤ꧀ꦱꦶꦏꦪ꧈ꦱꦼꦲꦶꦁꦒꦱꦼꦩꦸꦮꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦱꦼꦠꦫꦏꦼꦣꦸꦣꦸꦏꦤ꧀ꦚ꧉ꦣꦶꦱꦩ꧀ꦥꦶꦁꦆꦠꦸ꧈ꦣꦶꦣꦭꦩ꧀ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀‌ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦝꦶꦥꦁꦒꦶꦭ꧀ꦝꦼꦔꦤ꧀ꦱꦼꦧꦸꦠꦤ꧀“ꦏꦚ꧀ꦕ”ꦪꦁꦧꦼꦫꦂꦠꦶꦠꦼꦩꦤ꧀ꦄꦠꦻꦴꦱꦻꦴꦣꦫ꧉

꧋ꦲꦭ꧀ꦩꦼꦤꦫꦶꦏ꧀ꦭꦻꦤ꧀ꦚꦄꦣꦭꦃꦏꦺꦴꦩꦸꦤꦶꦏꦱꦶꦣꦶꦄꦤ꧀ꦠꦫꦥꦫꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀꧈ꦧꦲꦱꦪꦁꦣꦶꦒꦸꦤꦏꦤ꧀ꦝꦶꦣꦭꦩ꧀ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦄꦣꦭꦃꦧꦲꦱ“ꦧꦒꦺꦴꦔꦤ꧀”꧉ꦧꦲꦱꦧꦒꦺꦴꦔꦤ꧀ꦧꦼꦂꦧꦺꦣꦣꦼꦔꦤ꧀ꦧꦲꦱꦗꦮꦥꦣꦈꦩꦸꦩ꧀ꦚ꧉ꦣꦼꦔꦤ꧀ꦧꦲꦱꦧꦒꦺꦴꦔꦤ꧀‌ꦏꦺꦴꦩꦸꦤꦶꦏꦱꦶꦄꦤ꧀ꦠꦂꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦏꦼꦩꦸꦣꦶꦪꦤ꧀ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦩꦼꦔꦼꦤꦭ꧀ꦥꦼꦂꦧꦺꦣꦄꦤ꧀ꦝꦼꦫꦗꦠ꧀ꦝꦤ꧀ꦥꦁꦏꦠ꧀꧈

꧋ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦣꦶꦧꦒꦶꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶ꧇꧒꧇ꦧꦒꦶꦪꦤ꧀ꦧꦼꦱꦂ꧈ꦪꦆꦠꦸ꧇ꦥꦸꦤꦏꦮꦤ꧀ꦝꦤ꧀ꦏꦥꦿꦗꦤ꧀꧈ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦥꦸꦤꦏꦮꦤ꧀ꦩꦼꦫꦸꦥꦏꦤ꧀ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦪꦁꦧꦼꦫꦱꦭ꧀ꦝꦫꦶꦏꦭꦔꦤ꧀ꦩꦱꦾꦫꦏꦠ꧀ꦈꦩꦸꦩ꧀꧈ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦥꦸꦤꦺꦴꦏꦮꦤ꧀ꦄꦣꦭꦃꦠꦼꦤꦒꦎꦥꦼꦫꦱꦶꦪꦺꦴꦤꦭ꧀ꦪꦁꦩꦼꦚ꧀ꦗꦭꦤ꧀ꦏꦤ꧀ꦠꦸꦒꦱ꧀ꦏꦼꦱꦼꦲꦫꦶꦪꦤ꧀ꦝꦶꦣꦭꦩ꧀ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀꧈ꦣꦶꦧꦒꦶꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶ꧇꧒꧇ꦒꦺꦴꦭꦺꦴꦔꦤ꧀‌ꦪꦆꦠꦸꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦥꦸꦤꦏꦮꦤ꧀ꦠꦼꦥꦱ꧀ꦝꦤ꧀ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦥꦸꦤꦏꦮꦤ꧀ꦕꦎꦱ꧀꧈ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦥꦸꦤꦏꦮꦤ꧀ꦠꦼꦥꦱ꧀ꦩꦼꦩ꧀ꦥꦸꦚꦻꦗꦩ꧀ꦏꦼꦂꦗꦱꦼꦭꦪꦏ꧀ꦚꦥꦼꦒꦮꦻꦪꦁꦧꦼꦏꦼꦂꦗꦣꦶꦏꦤ꧀ꦠꦺꦴꦂ꧈ꦱꦼꦣꦁꦏꦤ꧀ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦥꦸꦤꦏꦮꦤ꧀ꦕꦎꦱ꧀ꦲꦚꦩꦼꦁꦲꦣꦥ꧀ꦏꦼꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦱꦼꦠꦶꦪꦥ꧀ꦥꦺꦫꦶꦪꦺꦴꦣꦼꦱꦼꦥꦸꦭꦸꦃꦲꦫꦶꦱꦼꦏꦭꦶ꧉ꦲꦭ꧀ꦆꦤꦶꦣꦶꦭꦏꦸꦏꦤ꧀ꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦼꦤꦸꦚ꧀ꦗꦸꦏ꧀ꦏꦤ꧀ꦠꦤ꧀ꦝꦲꦺꦴꦂꦩꦠ꧀ꦝꦤ꧀ꦏꦼꦱꦼꦠꦶꦪꦄꦤ꧀ꦱꦼꦧꦒꦻꦄꦧ꧀ꦝꦶ꧉

꧋ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦏꦼꦥꦿꦗꦤ꧀ꦄꦣꦭꦃꦩꦼꦫꦺꦏꦪꦁꦧꦼꦫꦱꦭ꧀ꦝꦫꦶꦠ꧀ꦤꦶ꧈ꦥꦺꦴꦭ꧀ꦫꦶ꧈ꦣꦤ꧀ꦥꦼꦒꦮꦻꦤꦼꦒꦼꦫꦶꦱꦶꦥꦶꦭ꧀(ꦥ꧀ꦤ꧀ꦱ꧀)ꦪꦁꦣꦶꦠꦼꦫꦶꦩꦣꦤ꧀ꦝꦶꦄꦁꦏꦠ꧀ꦱꦼꦧꦒꦻꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀꧈ꦥꦣꦈꦩꦸꦩ꧀ꦚꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦏꦼꦥꦿꦗꦤ꧀ꦄꦣꦭꦃꦎꦫꦁꦎꦫꦁꦪꦁꦠꦼꦭꦃꦩꦼꦩꦱꦸꦏꦶꦩꦱꦥꦺꦤ꧀ꦱꦶꦪꦸꦤ꧀ꦏꦼꦩꦸꦣꦶꦪꦤ꧀ꦩꦼꦤ꧀ꦝꦂꦩꦧꦏ꧀ꦠꦶꦏꦤ꧀ꦮꦏ꧀ꦠꦸ꧈ꦆꦭ꧀ꦩꦸꦣꦤ꧀ꦠꦼꦤꦒꦚꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦼꦩ꧀ꦧꦤ꧀ꦠꦸꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦱꦼꦕꦫꦱꦸꦏꦫꦺꦭ꧉

꧋ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦪꦁꦭꦶꦁꦏꦸꦥ꧀ꦥꦼꦂꦏꦼꦂꦗꦄꦤ꧀ꦚꦥꦭꦶꦁꦣꦼꦏꦠ꧀ꦝꦼꦔꦤ꧀ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦄꦣꦭꦃꦏꦼꦥꦫꦏ꧀꧈ꦏꦼꦭꦺꦴꦩ꧀ꦥꦺꦴꦏ꧀ꦆꦤꦶꦈꦩꦸꦩ꧀ꦚꦣꦶꦣꦺꦴꦩꦶꦤꦱꦶꦎꦭꦺꦃꦥꦫꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦥꦼꦉꦩ꧀ꦥꦸꦮꦤ꧀꧈ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦏꦼꦥꦫꦏ꧀ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦱꦭꦃꦱꦠꦸꦏꦼꦭꦺꦴꦩ꧀ꦥꦺꦴꦏ꧀ꦪꦁꦥꦭꦶꦁꦣꦼꦏꦠ꧀ꦝꦼꦔꦤ꧀ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦏꦉꦤꦠꦸꦒꦱ꧀ꦠꦸꦒꦱ꧀ꦚꦄꦤ꧀ꦠꦫꦭꦻꦤ꧀꧇ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦒꦫꦸꦮꦁꦥꦸꦱꦏ꧈ꦩꦼꦚꦶꦪꦥ꧀ꦏꦤ꧀ꦥꦼꦂꦊꦁꦏꦥꦤ꧀ꦈꦥꦕꦫ꧈ꦱꦼꦂꦠꦩꦼꦚꦶꦪꦥ꧀ꦏꦤ꧀ꦏꦼꦥꦼꦂꦭꦸꦮꦤ꧀ꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀‌ꦥꦼꦂꦩꦻꦱꦸꦫꦶꦣꦤ꧀ꦥꦸꦠꦿꦥꦸꦠꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦪꦁꦠꦶꦁꦒꦭ꧀ꦝꦶꦣꦭꦩ꧀ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀꧈

꧋ꦱꦼꦧꦼꦭꦸꦩ꧀ꦱꦼꦕꦫꦉꦱ꧀ꦩꦶꦣꦶꦱꦃꦏꦤ꧀ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀‌ꦕꦭꦺꦴꦤ꧀ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦄꦏꦤ꧀ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦭꦤꦶꦥꦿꦺꦴꦱꦺꦱ꧀ꦩꦒꦁꦱꦼꦭꦩ꧇꧒꧇ꦠꦲꦸꦤ꧀꧈ꦱꦼꦭꦩ꧇꧒꧇ꦠꦲꦸꦤ꧀ꦆꦤꦶꦥꦫꦄꦧ꧀ꦝꦶꦩꦒꦁꦄꦏꦤ꧀ꦝꦶꦤꦶꦭꦻꦩꦸꦭꦻꦣꦫꦶꦫꦗꦶꦤ꧀ꦄꦠꦻꦴꦠꦶꦣꦏ꧀ꦚꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦱꦺꦴꦮꦤ꧀ꦏꦼꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀‌ꦠꦼꦏꦠ꧀ꦚꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦼꦔꦧ꧀ꦝꦶ꧈ꦱꦼꦂꦠꦧꦏꦠ꧀ꦝꦤ꧀ꦗꦸꦒꦭꦠꦂꦧꦼꦭꦏꦁꦥꦼꦤ꧀ꦝꦶꦣꦶꦏꦤ꧀ꦚ꧉ꦱꦼꦠꦼꦭꦃꦣꦶꦤꦶꦭꦻꦭꦪꦏ꧀ꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦧꦫꦸꦏꦼꦩꦸꦣꦶꦪꦤ꧀ꦝꦶꦄꦁꦏꦠ꧀ꦩꦼꦭꦭꦸꦮꦶꦮꦶꦱꦸꦣ꧉ꦮꦶꦱꦸꦣꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦝꦶꦭꦏ꧀ꦱꦤꦏꦤ꧀ꦱꦼꦠꦶꦪꦥ꧀꧇꧒꧇ꦏꦭꦶꦱꦼꦠꦲꦸꦤ꧀‌ꦪꦆꦠꦸꦥꦣꦧꦸꦭꦤ꧀ꦧꦏ꧀ꦝꦩꦸꦭꦸꦣ꧀ꦝꦤ꧀ꦱꦾꦮꦭ꧀꧈

꧋ꦣꦱꦂꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦄꦣꦭꦃꦏꦺꦴꦩꦶꦠ꧀ꦩꦼꦤ꧀ꦥꦿꦶꦧꦣꦶ꧉ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦪꦁꦱꦸꦣꦃꦠꦶꦣꦏ꧀ꦩꦩ꧀ꦥꦸꦭꦒꦶꦩꦼꦚ꧀ꦗꦭꦤ꧀ꦏꦤ꧀ꦠꦸꦒꦱ꧀ꦏꦉꦤꦈꦱꦶꦪꦭꦚ꧀ꦗꦸꦠ꧀‌ꦏꦼꦱꦺꦲꦠꦤ꧀‌ꦣꦤ꧀ꦱꦼꦧꦧ꧀ꦱꦼꦧꦧ꧀ꦭꦻꦤ꧀ꦄꦏꦤ꧀ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦭꦤꦶꦥꦿꦺꦴꦱꦺꦱ꧀ꦥꦼꦩ꧀ꦧꦼꦂꦲꦼꦤ꧀ꦠꦶꦪꦤ꧀ꦪꦁꦣꦶꦱꦼꦧꦸꦠ꧀ꦩꦶꦗꦶ꧉ꦤꦩꦸꦤ꧀ꦝꦼꦩꦶꦏꦶꦪꦤ꧀ꦱꦔꦠ꧀ꦗꦫꦁꦠꦼꦂꦗꦣꦶꦣꦶꦩꦤꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦩꦼꦫꦱꦧꦺꦴꦱꦤ꧀ꦄꦠꦻꦴꦩꦼꦔꦗꦸꦏꦤ꧀ꦥꦼꦔꦸꦤ꧀ꦝꦸꦫꦤ꧀ꦝꦶꦫꦶ꧉

꧋ꦧꦼꦫꦶꦏꦸꦠ꧀ꦧꦼꦧꦼꦫꦥꦏꦼꦠꦼꦤ꧀ꦠꦸꦮꦤ꧀ꦠꦼꦂꦏꦻꦠ꧀ꦩꦶꦗꦶꦄꦠꦻꦴꦥꦿꦺꦴꦱꦺꦱ꧀ꦥꦼꦩ꧀ꦧꦼꦂꦲꦼꦤ꧀ꦠꦶꦪꦤ꧀ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀꧇
꧋ꦩꦶꦗꦶꦱꦸꦣꦺꦴꦤꦺꦴꦩꦸꦭꦾꦺꦴ꧇ꦠꦼꦭꦃꦩꦼꦔꦧ꧀ꦝꦶꦣꦶꦄꦠꦱ꧀꧇꧒꧐꧇ꦠꦲꦸꦤ꧀
꧋ꦩꦶꦗꦶꦱꦸꦣꦺꦴꦤꦺꦴꦱꦫꦺꦴꦪꦺꦴ꧇ꦠꦼꦭꦃꦩꦼꦔꦧ꧀ꦝꦶꦄꦤ꧀ꦠꦫ꧇꧑꧐꧇꧇꧒꧐꧇ꦠꦲꦸꦤ꧀
꧋ꦩꦶꦗꦶꦠꦸꦩ꧀ꦥꦸꦏ꧀꧇ꦭꦩꦥꦼꦔꦧ꧀ꦝꦶꦪꦤ꧀ꦝꦶꦧꦮꦃ꧇꧑꧐꧇ꦠꦲꦸꦤ꧀
꧋ꦩꦶꦗꦶꦥꦺꦴꦕꦺꦴꦠ꧀꧇ꦣꦶꦧꦼꦂꦲꦼꦤ꧀ꦠꦶꦏꦤ꧀ꦝꦼꦔꦤ꧀ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦲꦺꦴꦂꦩꦠ꧀ꦱꦼꦲꦶꦁꦒꦲꦫꦸꦱ꧀ꦩꦼꦔꦼꦩ꧀ꦧꦭꦶꦏꦤ꧀ꦒꦼꦭꦂꦪꦁꦣꦶꦧꦼꦫꦶꦏꦤ꧀ꦎꦭꦺꦃꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀(ꦄꦱ꧀ꦩꦥꦫꦶꦁꦣꦊꦩ꧀)ꦣꦤ꧀ꦝꦶꦭꦫꦁꦩꦱꦸꦏ꧀ꦏꦼꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀꧈
꧋ꦣꦭꦩ꧀ꦩꦼꦭꦏ꧀ꦱꦤꦏꦤ꧀ꦠꦸꦒꦱ꧀ꦚꦥꦫꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦠꦼꦫꦶꦏꦠ꧀ꦝꦼꦔꦤ꧀ꦕꦿꦼꦣꦺꦴꦮꦠꦏ꧀ꦱꦠꦿꦶꦪꦪꦁꦣꦶꦕꦼꦠꦸꦱ꧀ꦏꦤ꧀ꦎꦭꦺꦃꦥꦼꦤ꧀ꦝꦶꦫꦶꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ꧈ꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦩꦁꦏꦸꦧꦸꦩꦶꦄꦠꦻꦴꦱꦿꦶꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧇꧉ꦣꦶꦄꦤ꧀ꦠꦫꦚꦄꦣꦭꦃ꧇

꧋ꦚꦮꦶꦗꦶ꧇ꦠꦺꦴꦠꦭ꧀‌ꦥ꦳ꦺꦴꦏꦸꦱ꧀ꦝꦤ꧀ꦱꦼꦭꦭꦸꦧꦼꦂꦱꦼꦫꦃꦏꦼꦥꦣꦠꦸꦲꦤ꧀ꦪ꧀ꦩꦼ꧉
꧋ꦒꦿꦼꦒꦼꦠ꧀꧇ꦥꦼꦤꦸꦃꦥꦼꦁꦲꦪꦠꦤ꧀&ꦥꦼꦚ꧀ꦗꦶꦮꦄ
꧋ꦱꦼꦁꦒꦸꦃ꧇ꦥꦼꦂꦕꦪꦣꦶꦫꦶ
꧋ꦎꦫꦩꦶꦁꦏꦸꦃ꧇ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦒꦼꦤ꧀ꦠꦂꦩꦼꦁꦲꦣꦥꦶꦈꦗꦶꦪꦤ꧀ꦝꦤ꧀ꦲꦩ꧀ꦧꦠꦤ꧀꧈
꧋ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦱꦼꦎꦫꦁꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦶꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦧꦸꦏꦤ꧀ꦧꦼꦫꦂꦠꦶꦄꦏꦤ꧀ꦩꦼꦤ꧀ꦝꦥꦠ꧀ꦏꦤ꧀ꦲꦺꦴꦤꦺꦴꦂꦪꦁꦠꦶꦁꦒꦶ꧉ꦄꦭꦱꦤ꧀ꦈꦠꦩꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦈꦩꦸꦩ꧀ꦚꦄꦣꦭꦃꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦼꦤ꧀ꦝꦥꦠ꧀ꦏꦤ꧀ꦏꦼꦠꦼꦤ꧀ꦠꦿꦩꦤ꧀ꦝꦤ꧀ꦏꦼꦧꦲꦒꦶꦪꦄꦤ꧀ꦧꦠꦶꦤ꧀꧈ꦄꦣꦗꦸꦒꦪꦁꦣꦶꦭꦤ꧀ꦝꦱꦶꦎꦭꦺꦃꦫꦱꦠꦼꦫꦶꦩꦏꦱꦶꦃꦱꦸꦣꦃꦣꦶꦥꦼꦂꦧꦺꦴꦭꦺꦃꦏꦤ꧀ꦠꦶꦁꦒꦭ꧀ꦝꦶꦠꦤꦃꦩꦶꦭꦶꦏ꧀ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀꧈ꦱꦼꦭꦻꦤ꧀ꦆꦠꦸ꧈ꦥ꦳ꦏ꧀ꦠꦺꦴꦂꦭꦻꦤ꧀ꦪꦁꦆꦔꦶꦤ꧀ꦝꦶꦥꦼꦫꦺꦴꦭꦺꦃꦣꦫꦶꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦄꦣꦭꦃꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦼꦤ꧀ꦝꦥꦠ꧀ꦏꦤ꧀ꦧꦼꦂꦏꦃꦣꦊꦩ꧀꧈ꦩꦼꦤꦸꦫꦸꦠ꧀ꦥꦫꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀‌ꦄꦣꦱꦗꦉꦗꦼꦏꦶꦪꦁꦣꦠꦁꦣꦤ꧀ꦝꦥꦠ꧀ꦩꦼꦚ꧀ꦕꦸꦏꦸꦥꦶꦏꦼꦧꦸꦠꦸꦲꦤ꧀ꦏꦼꦭꦸꦮꦂꦒꦚꦱꦼꦠꦼꦭꦃꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀꧈

꧋ꦱꦼꦆꦫꦶꦁꦣꦼꦔꦤ꧀ꦥꦼꦂꦏꦼꦩ꧀ꦧꦔꦤ꧀ꦗꦩꦤ꧀ꦝꦶꦩꦤꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦩꦼꦩꦼꦂꦭꦸꦏꦤ꧀ꦧꦚꦏ꧀ꦠꦼꦤꦒꦥꦿꦺꦴꦥ꦳ꦺꦱꦶꦪꦺꦴꦤꦭ꧀‌ꦣꦺꦮꦱꦆꦤꦶꦧꦚꦏ꧀ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦪꦁꦩꦼꦩꦶꦭꦶꦏꦶꦥꦼꦤ꧀ꦝꦶꦣꦶꦏꦤ꧀ꦠꦶꦁꦒꦶ꧉ꦭꦠꦂꦧꦼꦭꦏꦁꦥꦼꦤ꧀ꦝꦶꦣꦶꦏꦤ꧀ꦚꦧꦼꦫꦒꦩ꧀‌ꦩꦸꦭꦻꦣꦫꦶꦧꦶꦣꦁꦱꦼꦤꦶ꧈ꦲꦶꦁꦒꦏꦺꦴꦩ꧀ꦥꦸꦠꦼꦂꦣꦤ꧀ꦄꦏꦸꦤ꧀ꦠꦤ꧀ꦱꦶ꧉ꦲꦭ꧀ꦆꦤꦶꦩꦼꦤꦸꦚ꧀ꦗꦸꦏ꧀ꦏꦤ꧀ꦧꦃꦮꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦱꦼꦭꦭꦸꦆꦣꦺꦤ꧀ꦠꦶꦏ꧀ꦝꦼꦔꦤ꧀ꦎꦫꦁꦎꦫꦁꦭꦚ꧀ꦗꦸꦠ꧀ꦈꦱꦶꦪꦣꦤ꧀ꦧꦼꦂꦥꦼꦤ꧀ꦝꦶꦣꦶꦏꦤ꧀ꦉꦤ꧀ꦝꦃ꧉ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦄꦣꦭꦃꦎꦫꦁꦎꦫꦁꦪꦁꦩꦼꦩꦶꦭꦶꦏꦶꦮꦮꦱꦤ꧀ꦧꦸꦣꦪ꧈ꦏꦼꦄꦃꦭꦶꦪꦤ꧀ꦱꦼꦏꦭꦶꦒꦸꦱ꧀ꦝꦺꦣꦶꦏꦱꦶꦪꦁꦠꦶꦁꦒꦶ꧉

꧋ꦥꦣꦄꦏ꦳ꦶꦂꦚ꧈ꦏꦼꦧꦼꦫꦣꦄꦤ꧀ꦄꦧ꧀ꦝꦶꦣꦊꦩ꧀ꦱꦔꦠ꧀ꦧꦼꦫꦂꦠꦶ꧉ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦱꦗꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦼꦤ꧀ꦝꦸꦏꦸꦁꦏꦼꦧꦼꦂꦭꦁꦱꦸꦔꦤ꧀ꦱꦼꦒꦭꦄꦏ꧀ꦠꦶꦥ꦳ꦶꦠꦱ꧀ꦝꦶꦣꦭꦩ꧀ꦏꦼꦫꦠꦺꦴꦤ꧀‌ꦠꦼꦠꦥꦶꦗꦸꦒꦩꦼꦚ꧀ꦗꦣꦶꦧꦺꦤ꧀ꦠꦺꦁꦥꦼꦫꦶꦭꦏꦸꦥꦣꦗꦩꦤ꧀ꦪꦁꦱꦼꦩꦏꦶꦤ꧀ꦕꦼꦥꦠ꧀ꦧꦼꦫꦸꦧꦃ꧉

Tugas dan Fungsi Abdi Dalem

JGST

Setelah diproklamasikan pada tanggal 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ), Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat membutuhkan aparatur negara yang berasal baik dari golongan sipil maupun militer. Abdi Dalem merupakan aparatur sipil, sedangkan aparatur militernya adalah prajurit keraton. Abdi Dalem bertugas sebagai pelaksana operasional di setiap organisasi yang dibentuk oleh Sultan. Tanpa adanya Abdi Dalem, roda pemerintahan tidak akan berjalan.

Selain menjalankan tugas operasional pada setiap organisasi di keraton, Abdi Dalem juga merupakan ‘abdi budaya’. Abdi budaya adalah orang yang bisa dan mampu memberi suri tauladan bagi masyarakat luas. Abdi Dalem harus bisa menjadi contoh kehidupan di masyarakat, bertindak berdasarkan unggah-ungguh dan paham akan tata krama. Oleh karena itu, senyum yang selalu merekah, ramah dan sopan santun yang tinggi merupakan hal yang selalu ditunjukan oleh para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta.

Ciri khas Abdi Dalem Keraton Yogyakarta terletak pada pakaian. Pakaian atau busana khas Abdi Dalem disebut peranakan. Peranakan berasal dari kata ‘diper-anak-kan’. Artinya menjadi Abdi Dalem akan dianggap seolah-olah satu saudara yang dilahirkan dari seorang ibu. Semua Abdi Dalem pakaiannya sama dan menjalankan tugas tanpa mengenakan alas kaki. Selain itu, Abdi Dalem wanita tidak boleh memakai perhiasan. Semua ini bertujuan untuk meniadakan perbedaan antara si miskin dan si kaya, sehingga semua Abdi Dalem setara kedudukannya. Di samping itu, di dalam keraton, Abdi Dalem dipanggil dengan sebutan “kanca” yang berarti teman atau saudara.

Hal menarik lainnya adalah komunikasi diantara para Abdi Dalem. Bahasa yang digunakan di dalam Keraton Yogyakarta adalah Bahasa “Bagongan”. Bahasa Bagongan berbeda dengan Bahasa Jawa pada umumnya. Dengan Bahasa Bagongan, komunikasi antar Abdi Dalem kemudian tidak mengenal perbedaan derajat dan pangkat.

Abdi Dalem Keraton Yogyakarta dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu: Punakawan dan Kaprajan. Abdi Dalem Punakawan merupakan abdi yang berasal dari kalangan masyarakat umum. Abdi Dalem Punokawan adalah tenaga operasional yang menjalankan tugas keseharian di dalam keraton. Dibagi menjadi 2 golongan, yaitu Abdi Dalem Punakawan Tepas dan Abdi Dalem Punakawan Caos. Abdi Dalem Punakawan Tepas mempunyai jam kerja selayaknya pegawai yang bekerja di kantor, sedangkan Abdi Dalem Punakawan Caos hanya menghadap ke keraton setiap periode sepuluh hari sekali. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan tanda hormat dan kesetiaan sebagai abdi.

Abdi Dalem Keprajan adalah mereka yang berasal dari TNI, Polri, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diterima dan diangkat sebagai Abdi Dalem. Pada umumnya Abdi Dalem Keprajan adalah orang-orang yang telah memasuki masa pensiun kemudian mendarmabaktikan waktu, ilmu dan tenaganya untuk membantu keraton secara suka rela.

Abdi Dalem yang lingkup perkerjaannya paling dekat dengan Sultan adalah Keparak. Kelompok ini umumnya didominasi oleh para Abdi Dalem perempuan. Abdi Dalem Keparak menjadi salah satu kelompok yang paling dekat dengan Sultan karena tugas-tugasnya antara lain: menjaga ruang pusaka, menyiapkan perlengkapan upacara, serta menyiapkan keperluan Sri Sultan, Permaisuri dan Putra-Putri Sultan yang tinggal di dalam keraton.

Sebelum secara resmi disahkan menjadi Abdi Dalem, calon Abdi Dalem akan menjalani proses magang selama 2 tahun. Selama 2 tahun ini para abdi magang akan dinilai mulai dari rajin atau tidaknya untuk sowan ke keraton, tekatnya untuk mengabdi, serta bakat dan juga latar belakang pendidikannya. Setelah dinilai layak untuk menjadi Abdi Dalem baru kemudian diangkat melalui wisuda. Wisuda Abdi Dalem dilaksanakan setiap 2 kali setahun, yaitu pada bulan Bakda Mulud dan Syawal.

Dasar menjadi Abdi Dalem adalah komitmen pribadi. Abdi Dalem yang sudah tidak mampu lagi menjalankan tugas karena usia lanjut, kesehatan, dan sebab-sebab lain akan menjalani proses pemberhentian yang disebut miji. Namun demikian sangat jarang terjadi dimana Abdi Dalem merasa bosan atau mengajukan pengunduran diri.

Berikut beberapa ketentuan terkait miji atau proses pemberhentian Abdi Dalem:
Miji Sudono Mulyo: telah mengabdi di atas 20 tahun 
Miji Sudono Saroyo: telah mengabdi antara 10-20 tahun
Miji Tumpuk: lama pengabdian di bawah 10 tahun
Miji Pocot: diberhentikan dengan tidak hormat sehingga harus mengembalikan gelar yang diberikan oleh Sultan (asma paring Dalem) dan dilarang masuk ke keraton.
Dalam melaksanakan tugasnya para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta terikat dengan credo Watak Satriya yang dicetuskan oleh pendiri Keraton Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I. Diantaranya adalah :

Nyawiji: total, fokus dan selalu berserah kepada tuhan YME.
Greget: penuh penghayatan & penjiwaa
Sengguh: percaya diri
Ora mingkuh: tidak gentar menghadapi ujian dan hambatan.
Menjadi seorang abdi di keraton bukan berarti akan mendapatkan honor yang tinggi. Alasan utama menjadi Abdi Dalem umumnya adalah untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan batin. Ada juga yang dilandasi oleh rasa terimakasih sudah diperbolehkan tinggal di tanah milik Sultan. Selain itu, faktor lain yang ingin diperoleh dari menjadi Abdi Dalem adalah untuk mendapatkan berkah Dalem. Menurut para Abdi Dalem, ada saja rejeki yang datang dan dapat mencukupi kebutuhan keluarganya setelah menjadi Abdi Dalem.

Seiring dengan perkembangan jaman dimana keraton memerlukan banyak tenaga profesional, dewasa ini banyak Abdi Dalem yang memiliki pendidikan tinggi. Latar belakang pendidikannya beragam, mulai dari bidang seni, hingga komputer dan akuntansi. Hal ini menunjukkan bahwa Abdi Dalem tidak selalu identik dengan orang-orang lanjut usia dan berpendidikan rendah. Abdi Dalem adalah orang-orang yang memiliki wawasan budaya, keahlian sekaligus dedikasi yang tinggi.

Pada akhirnya, keberadaan Abdi Dalem sangat berarti. Tidak saja untuk mendukung keberlangsungan segala aktifitas di dalam keraton, tetapi juga menjadi benteng perilaku pada jaman yang semakin cepat berubah.

Tugas dan Fungsi Abdi Dalem

JGST

Setelah diproklamasikan pada tanggal 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ), Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat membutuhkan aparatur negara yang berasal baik dari golongan sipil maupun militer. Abdi Dalem merupakan aparatur sipil, sedangkan aparatur militernya adalah prajurit keraton. Abdi Dalem bertugas sebagai pelaksana operasional di setiap organisasi yang dibentuk oleh Sultan. Tanpa adanya Abdi Dalem, roda pemerintahan tidak akan berjalan.

Selain menjalankan tugas operasional pada setiap organisasi di keraton, Abdi Dalem juga merupakan ‘abdi budaya’. Abdi budaya adalah orang yang bisa dan mampu memberi suri tauladan bagi masyarakat luas. Abdi Dalem harus bisa menjadi contoh kehidupan di masyarakat, bertindak berdasarkan unggah-ungguh dan paham akan tata krama. Oleh karena itu, senyum yang selalu merekah, ramah dan sopan santun yang tinggi merupakan hal yang selalu ditunjukan oleh para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta.

Ciri khas Abdi Dalem Keraton Yogyakarta terletak pada pakaian. Pakaian atau busana khas Abdi Dalem disebut peranakan. Peranakan berasal dari kata ‘diper-anak-kan’. Artinya menjadi Abdi Dalem akan dianggap seolah-olah satu saudara yang dilahirkan dari seorang ibu. Semua Abdi Dalem pakaiannya sama dan menjalankan tugas tanpa mengenakan alas kaki. Selain itu, Abdi Dalem wanita tidak boleh memakai perhiasan. Semua ini bertujuan untuk meniadakan perbedaan antara si miskin dan si kaya, sehingga semua Abdi Dalem setara kedudukannya. Di samping itu, di dalam keraton, Abdi Dalem dipanggil dengan sebutan “kanca” yang berarti teman atau saudara.

Hal menarik lainnya adalah komunikasi diantara para Abdi Dalem. Bahasa yang digunakan di dalam Keraton Yogyakarta adalah Bahasa “Bagongan”. Bahasa Bagongan berbeda dengan Bahasa Jawa pada umumnya. Dengan Bahasa Bagongan, komunikasi antar Abdi Dalem kemudian tidak mengenal perbedaan derajat dan pangkat.

Abdi Dalem Keraton Yogyakarta dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu: Punakawan dan Kaprajan. Abdi Dalem Punakawan merupakan abdi yang berasal dari kalangan masyarakat umum. Abdi Dalem Punokawan adalah tenaga operasional yang menjalankan tugas keseharian di dalam keraton. Dibagi menjadi 2 golongan, yaitu Abdi Dalem Punakawan Tepas dan Abdi Dalem Punakawan Caos. Abdi Dalem Punakawan Tepas mempunyai jam kerja selayaknya pegawai yang bekerja di kantor, sedangkan Abdi Dalem Punakawan Caos hanya menghadap ke keraton setiap periode sepuluh hari sekali. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan tanda hormat dan kesetiaan sebagai abdi.

Abdi Dalem Keprajan adalah mereka yang berasal dari TNI, Polri, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diterima dan diangkat sebagai Abdi Dalem. Pada umumnya Abdi Dalem Keprajan adalah orang-orang yang telah memasuki masa pensiun kemudian mendarmabaktikan waktu, ilmu dan tenaganya untuk membantu keraton secara suka rela.

Abdi Dalem yang lingkup perkerjaannya paling dekat dengan Sultan adalah Keparak. Kelompok ini umumnya didominasi oleh para Abdi Dalem perempuan. Abdi Dalem Keparak menjadi salah satu kelompok yang paling dekat dengan Sultan karena tugas-tugasnya antara lain: menjaga ruang pusaka, menyiapkan perlengkapan upacara, serta menyiapkan keperluan Sri Sultan, Permaisuri dan Putra-Putri Sultan yang tinggal di dalam keraton.

Sebelum secara resmi disahkan menjadi Abdi Dalem, calon Abdi Dalem akan menjalani proses magang selama 2 tahun. Selama 2 tahun ini para abdi magang akan dinilai mulai dari rajin atau tidaknya untuk sowan ke keraton, tekatnya untuk mengabdi, serta bakat dan juga latar belakang pendidikannya. Setelah dinilai layak untuk menjadi Abdi Dalem baru kemudian diangkat melalui wisuda. Wisuda Abdi Dalem dilaksanakan setiap 2 kali setahun, yaitu pada bulan Bakda Mulud dan Syawal.

Dasar menjadi Abdi Dalem adalah komitmen pribadi. Abdi Dalem yang sudah tidak mampu lagi menjalankan tugas karena usia lanjut, kesehatan, dan sebab-sebab lain akan menjalani proses pemberhentian yang disebut miji. Namun demikian sangat jarang terjadi dimana Abdi Dalem merasa bosan atau mengajukan pengunduran diri.

Berikut beberapa ketentuan terkait miji atau proses pemberhentian Abdi Dalem:
Miji Sudono Mulyo: telah mengabdi di atas 20 tahun 
Miji Sudono Saroyo: telah mengabdi antara 10-20 tahun
Miji Tumpuk: lama pengabdian di bawah 10 tahun
Miji Pocot: diberhentikan dengan tidak hormat sehingga harus mengembalikan gelar yang diberikan oleh Sultan (asma paring Dalem) dan dilarang masuk ke keraton.
Dalam melaksanakan tugasnya para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta terikat dengan credo Watak Satriya yang dicetuskan oleh pendiri Keraton Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I. Diantaranya adalah :

Nyawiji: total, fokus dan selalu berserah kepada tuhan YME.
Greget: penuh penghayatan & penjiwaa
Sengguh: percaya diri
Ora mingkuh: tidak gentar menghadapi ujian dan hambatan.
Menjadi seorang abdi di keraton bukan berarti akan mendapatkan honor yang tinggi. Alasan utama menjadi Abdi Dalem umumnya adalah untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan batin. Ada juga yang dilandasi oleh rasa terimakasih sudah diperbolehkan tinggal di tanah milik Sultan. Selain itu, faktor lain yang ingin diperoleh dari menjadi Abdi Dalem adalah untuk mendapatkan berkah Dalem. Menurut para Abdi Dalem, ada saja rejeki yang datang dan dapat mencukupi kebutuhan keluarganya setelah menjadi Abdi Dalem.

Seiring dengan perkembangan jaman dimana keraton memerlukan banyak tenaga profesional, dewasa ini banyak Abdi Dalem yang memiliki pendidikan tinggi. Latar belakang pendidikannya beragam, mulai dari bidang seni, hingga komputer dan akuntansi. Hal ini menunjukkan bahwa Abdi Dalem tidak selalu identik dengan orang-orang lanjut usia dan berpendidikan rendah. Abdi Dalem adalah orang-orang yang memiliki wawasan budaya, keahlian sekaligus dedikasi yang tinggi.

Pada akhirnya, keberadaan Abdi Dalem sangat berarti. Tidak saja untuk mendukung keberlangsungan segala aktifitas di dalam keraton, tetapi juga menjadi benteng perilaku pada jaman yang semakin cepat berubah.